Menanggapi Usulan Revisi Undang Undang Migas

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai membahas usulan amandemen atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (Kompas 4 September 2008). Usulan perubahan yang diajukan, antara lain, adalah mengubah Pasal 22 Ayat (1) yang sebelumnya berbunyi Badan usaha wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri menjadi Badan usaha wajib menyerahkan 75 persen bagiannya.
Kontrak Bagi Hasil adalah bagi produksi. Sebagai contoh, bagi hasil yang standar untuk minyak 85:15 dan untuk gas 70:30. Artinya untuk minyak Pemerintah dapat 85 % dan untuk gas dapat 70 % dari Equity to be split (ES). Apabila Recoverable Cost (pengembalian biaya) atau RC adalah 20% dari Revenue (R) sehingga ES adalah 80% R maka untuk minyak Pemerintah dapat 85% ES atau 68% R. Akibatnya, hak atas produksi adalah 68% untuk Pemerintah dan 32% untuk Kontraktor. Standar untuk minyak diberlakukan kewajiban untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari Bagian Kontraktor sebelum Pajak atau Contractor Share (CS). Sesudah 60 bulan produksi, DMO dibeli dengan harga khusus (murah), normalnya 10% harga pasar. Apabila pajak 48% maka CS adalah 15%(1-0,48)ES atau 28,8% ES. Akibatnya jatah produksi Kontraktor berkurang 0,25x28,8% atau 7,2%, menjadi 24,8%. Untuk gas Pemerintah dapat 70% ES atau 56% R, sehingga hak atas produksi adalah 56% untuk Pemerintah dan 44% untuk Kontraktor. Sampai saat ini belum diberlakukan DMO untuk gas. Perlu diketahui bahwa Kontrak Bagi Hasil bisa tidak seperti stándar diatas dan RC dapat tidak sama dengan 20%R, sehingga perhitungannya berbeda.
Dengan menanamkan investasi di negara lain, terdapat kontraktor yang mengharapkan migas untuk jaminan pasokan (security of supply) buat negaranya. Akibatnya, dia tentunya lebih suka menanamkan investasi di negara-negara dimana dia bisa mengimpor migas lebih banyak. Pertanyaan lain apabila porsi DMO dinaikkan ádalah pada harga berapa kontraktor dibayar untuk memenuhi DMO tersebut. Apabila dibayar dengan harga sangat murah (dibandingkan harga pasar), tentunya keuntungannya akan berkurang. Akibatnya, dia lebih memilih untuk investasi di negara lain.
Sebenarnya, kita bisa meningkatkan pemakaian gas domestik dengan membuat lapangan-lapangan gas yang kecil dan menengah diproduksikan. Produksi dari lapangan-lapangan tersebut tidak bisa diekspor. Walaupun demikian, lapangan-lapangan tersebut membutuhkan biaya produksi yang lebih besar dan biaya pipa gas untuk transportasi. Untuk itu harga gas domestik perlu ditingkatkan, misal menjadi $6/MSCF yang setara dengan minyak $36/barel yang masih kurang dari sepertiga dari harga minyak saat ini. Harga tersebut juga akan menarik pengembangan Coal Bed Methane (CBM) yang potensinya diperkirakan tidak kalah dengan gas. Perlu diketahui harga gas $6/MCF setara dengan minyak $36/barel, masih kurang dari sepertiga harga minyak saat ini. Rendahnya harga energi adalah penyebab utama kenapa program diversifikasi energi kurang berhasil.
Usulan perubahan lain adalah untuk memperketat pengawasan oleh DPR diajukan untuk Pasal 11 Ayat (2), yang sebelumnya berbunyi setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR menjadi setiap kontrak kerja sama yang akan ditandatangani wajib dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari DPR.
Mengundang investor adalah seperti mengundang pelanggan untuk rumah makan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, lingkungannya baik, harganya bersaing, pelayanannya baik.
Makanannya enak dapat dianalogikan dengan prospek yang menarik. Walaupun prospek di Indonesia cukup menarik, tingginya resiko (lingkungan) di Indonesia mengakibatkan perusahaan-perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, akibatnya produksi turun.
Harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik. Kontrak akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan (partnership) atau pelayanannya tidak baik.
Apabila setiap kontrak harus mendapatkan persetujuan dari DPR, maka hal tersebut dapat dianalogikan dengan pelayanan yang lebih rumit. Seperti persyaratan rumah makan dimana pasangan yang datang harus bawa surat ijin orang tua atau surat nikah, maka dijamin pelanggannya akan berkurang. Kalau kita ingin mengundang investasi lebih besar maka yang dibutuhkan adalah pelayanan birokrasi yang lebih cepat dan sederhana, bukan yang tambah rumit. Mohon disadari bahwa penambahan cadangan yang kurang berarti selama 6 tahun terakhir, disebabkan karena iklim investasi yang kurang mendukung. Kalau ditambah dengan birokrasi yang lebih rumit maka dijamin investor makin takut menanamkan modalnya di Indonesia. Apabila kebijakan tersebut dijalankan maka jangan salahkan pemerintah kalau akibatnya nanti produksi migas lebih turun.
Apabila UU Migas direvisi kenapa tidak dinyatakan:
1. Sistem perpajakan Migas kita adalah lex specialist, dimana untuk eksplorasi tidak dikenakan bea masuk serta PPN dan PPh impor karena eksplorasi belum tentu menemukan migas. Tidak diterapkannya sistem tersebut menyebabkan penemuan cadangan migas lalu turun tiap tahun (dalam MMBOE) dari 2372 (2002), 1050 (2001), 1049 (2004), 181 (2005) ke 408 (2006). Akibatnya, produksi minyak turun dari 1,25 juta (2002) menjadi dibawah 1 juta (2007) barel per hari. Hal tersebut dicoba diatasi dengan keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK001/2007. Walaupun demikian menurut Ketua Komisi VII DPR keputusan tersebut tidak permanen.
2. Lapangan-lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak mulai dikembangkan dalam waktu tertentu (misal: 5 tahun) dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini mempertegas Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008 yang meminta kontraktor untuk melepaskannya (carved out) lapangan yang tidak diproduksikan dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya. Perlu diketahui bahwa di Indonesia banyak terdapat lapangan yang tidak dikembangkan, bukan karena tidak ekonomis tetapi karena tidak masuk prioritas (portofolio) perusahaan. Padahal lapangan tersebut kalau dikerjakan oleh perusahaan lain (terutama nasional) masih sangat menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan produksi migas kita dan meningkatkan kemampuan nasional.
3. Untuk kontrak-kontrak yang sudah habis maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan-perusahaan nasional dengan kepemilikan saham nasional minimal 55 persen. Hal ini perlu untuk meningkatkan kemampuan nasional supaya cita-cita penggagas Kontrak Bagi Hasil yaitu sedapat mungkin mengerjakan minyak kita sendiri akan lebih cepat terlaksana.
Dengan demikian revisi UU Migas tersebut disamping tidak mengecewakan investor yang menanamkan modal di Indonesia dapat meningkatkan produksi serta kemampuan dan partisipasi nasional dalam bidang migas, sehingga amanat konstitusi yang memanfaatkan migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terlaksana.


Penulis adalah Guru Besar ITB


KOMENTAR:
Mas Wit,

Hari ini ada dengar pendapat antara DPR dengan 5 perusahan Migas, dan
didampingi oleh 2 ahli kontrak migas, disebut adalah Pri Agung Rahmanto,
alumni TM angkatan 84 (kalau tidak salah) dan kini ketua salah satu LSM
bidang energy, yang kedua Mas Dody Nawangsidi, dosen TM akan tetapi
mewakili Partai Demokrat (kalau tidak salah).

Kayaknya mas Wit harus turun gunung untuk mau berlumuran dan bergesekan
dengan politik dan permainan para penguasa. . . bila tidak saat ini, maka
tidak akan ada perbaikan yang mas Wit lakukan untuk semalanya.

Selamat berjuang mas Wit.

Salam,
Rudi Rubiandini R.S. TM-80


Mas Rudi,
Mas Agung tuh angkatan 94 lho bukan 84...tepat setahun diatas saya.
Jagoan Muda yang patut dibanggakan. Saya salut.

Kalau Mas Rudi sudah kapok atau malah makin tertantang bergesekan dengan Politik dan Permainan Penguasa, Mas?

Salam,
Andreas.
95