Kebijakan Publik di Bidang Pertambangan

Oleh Widjajono Partowidagdo

PERTAMBANGAN mempunyai beberapa karakteristik, yaitu non-renewable
(tidak dapat diperbarui), mempunyai risiko relatif lebih tinggi, dan
pengusahaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun sosial
yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada
umumnya. Karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui tersebut
pengusaha pertambangan selalu mencari proven reserves (cadangan
terbukti) baru. Cadangan terbukti berkurang dengan produksi dan
bertambah dengan adanya penemuan.

Ada beberapa macam risiko di bidang pertambangan yaitu risiko geologi
(eksplorasi) yang berhubungan dengan ketidakpastian penemuan cadangan
(produksi), risiko teknologi yang berhubungan dengan ketidakpastian
biaya, risiko pasar yang berhubungan dengan perubahan harga, dan
risiko kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan perubahan pajak
dan harga domestik. Risiko-risiko tersebut berhubungan dengan
besaran-besaran yang mempengaruhi keuntungan usaha yaitu produksi,
harga, biaya dan pajak. Usaha yang mempunyai risiko lebih tinggi
menuntut pengembalian keuntungan (Rate of Return) yang lebih tinggi.

Walaupun terdapat dampak lingkungan pada waktu eksplorasi, tetapi
dampak lingkungan pertambangan utama adalah pada waktu eksploitasi dan
pemakaiannya untuk yang bisa digunakan sebagai energi (minyak, gas dan
batu bara). Dampak lingkungan tersebut dapat berbentuk fisik seperti
penggundulan hutan, pengotoran air (sungai, danau dan laut) serta
pengotoran udara untuk energi. Dampak lingkungan tersebut dapat juga
bersifat sosial yaitu hilangnya mata pencarian penduduk yang tadinya
hidup dari hasil hutan maupun hasil pertambangan itu sendiri. Sebagai
contoh: dengan cara yang sederhana penduduk dapat mendulang emas.

Dampak lingkungan pertambangan berbeda antara jenis tambang yang satu
dengan yang lain. Tambang ada yang berada jauh di bawah permukaan
seperti tambang minyak dan gas sehingga penambangannya dilakukan
dengan membuat sumur, oleh sebab itu penambangannya relatif tidak
membutuhkan daerah yang luas di permukaan. Tambang ada yang digali di
permukaan atau ditambang dengan membuat tero-wongan dekat permukaan
seperti batu bara, tembaga, emas dan lain-lain sehingga relatif
membutuhkan daerah yang luas di permukaan dan sebagai akibatnya dampak
lingkungan fisik maupun sosialnya lebih besar. Apalagi tambang
tersebut tadinya merupakan mata pencarian penduduk setempat.

Risiko eksplorasi dan tingkat kesulitan teknologi eksploitasi
pertambangan juga berbeda satu sama lain. Untuk migas yang lokasi
cadangannya jauh di bawah permukaan risiko eksplorasinya tentunya
besar, sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar migas kita
masih diproduksi oleh swasta asing. Dalam hal teknologi eksploitasi
migas walaupun tingkat kesulitannya cukup tinggi, terdapat keyakinan
bahwa bangsa Indonesia cukup mampu melakukan eksploitasi migas paling
tidak untuk penambangan di daratan maupun laut dangkal. Hal ini
dibuktikan dengan kenyataan bahwa di samping Pertamina ada beberapa
swasta nasional yang sudah mengoperasikan lapangan minyaknya berbekal
pengalaman yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun di bidang
tersebut. Salah satu pengusaha tersebut adalah Ir. Arifin Panigoro
bersama Medconya.

***

WALAUPUN risiko usaha di bidang migas tinggi, tetapi karena migas
sangat penting untuk Indonesia sejak waktu yang lama, maka
peraturan-peraturan di bidang tersebut sudah sangat maju dan terbuka,
dalam pengertian sering sekali diperdebatkan. Pajak migas sangat
tinggi dibandingkan komoditi lain. Sebagai contoh untuk minyak 85
persen dan untuk gas 70 persen dari keuntungan adalah untuk
pemerintah. Di samping itu di bidang migas sudah berlaku kontrak bagi
hasil, sedangkan di pertambangan umum (nonmigas) masih berlaku kontrak
karya. Perbedaan utama antara kontrak bagi hasil dan kontrak karya
adalah bahwa pada kontrak bagi hasil manajemen ada di tangan
Indonesia, dalam pengertian setiap perencanaan pengembangan (Plan of
Development) harus disetujui dulu oleh pemerintah (dalam hal migas:
Pertamina) termasuk aspek lingkungannya.

Dasar kebijakan publik di bidang pertambangan adalah UUD 1945 pasal 33
ayat 3 yang menyatakan bahwa: bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dalam pelaksanaannya mungkin dapat dipertimbangkan hal-hal berikut
ini.

Pertama, kita baru mengundang perusahaan asing apabila bangsa
Indonesia tidak berani mengambil risiko atau tidak menguasai teknologi
untuk bidang pertambangan tersebut. Mengapa? Karena tentunya akan
lebih menguntungkan kalau dikerjakan sendiri karena biaya orang asing
mahal dan dana tersebut tentunya kembali ke negaranya. Apalagi kalau
manajemennya tidak di tangan Indonesia.

Kedua, apabila risikonya tidak besar serta teknologinya dikuasai dan
permasalahannya hanya modal, maka dana dapat dikumpulkan melalui
beberapa cara, yaitu:

a. sebagian pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan umum yang
sudah memberikan keuntungan banyak (misal: batu bara). Pendapatan
tersebut dapat digunakan untuk eksplorasi dan investasi pada
sektor-sektor pertambangan lainnya. Hal yang sama dapat diberlakukan
untuk migas sehingga sebagian pendapatan pemerintah darinya dapat
digunakan untuk ekplorasi dan investasi untuk energi lain yang lebih
bersih lingkungan seperti panas bumi dan tenaga air. Sebagai
perbandingan, pada sektor kehutanan terdapat dana reboisasi.

b. BUMN terkait dapat mengumpulkan dana dari saham masyarakat yang
besarnya tergantung pada kepercayaan masyarakat pada hasil usaha di
bidang tersebut.

c. swasta nasional yang berminat berusaha di bidang tersebut (dapat
sendiri atau merupakan konsorsium) diikutsertakan dalam usaha
tersebut.

d. apabila dari sumber di atas dana tidak cukup maka baru diusahakan
modal asing.

Ketiga, aspek lingkungan baik fisik maupun sosial harus
dipertimbangkan dalam setiap kontrak pertambangan dan pengusaha
pertambangan harus menyediakan biaya untuk mengatasi permasalahan
lingkungan tersebut. Menurut ahli ekonomi Kaldor dan Hicks suatu
tindakan dikatakan bermanfaat apabila golongan yang memperoleh manfaat
dari usahanya dapat memberi kompensasi bagi golongan yang menderita
kerugian akibat usaha tersebut sehingga posisi golongan kedua tersebut
paling jelek sama seperti sebelum adanya usaha tersebut dan golongan
pertama masih untung. Golongan kedua tersebut dapat berupa alam maupun
masyarakat. Jadi, tidak adil bila ada suatu usaha yang kemudian
menyebabkan lingkungan menjadi lebih rusak atau masyarakat menjadi
lebih menderita dibandingkan keadaan sebelum adanya usaha tersebut.

Keempat, apabila kontrak bagi hasil untuk pertambangan umum lebih
menguntungkan dibandingkan kontrak karya (dengan pengertian juga tidak
membuat kontraktor jera), maka tentunya yang lebih menguntungkan
masyarakat perlu diberlakukan.

Perlu dicatat bahwa perubahan hanya dapat diberlakukan untuk kontrak
baru, kecuali apabila kedua belah pihak yang menandatangani kontrak
tersebut setuju.

***

SECARA khusus dalam kasus emas Busang, yang sedang hangat akhir-akhir
ini dipermasalahkan, ada beberapa masukan yang menarik. Yang pertama
adalah ungkapan Dr Amien Rais. Ia menyatakan bahwa usaha tersebut
tidak membutuhkan teknologi yang terlalu canggih sehingga mengapa
mesti diusahakan oleh orang asing. Selain itu Amien Rais juga
menyatakan bahwa keuntungan bangsa Indonesia terlalu kecil.

Kedua, dengan mengambil contoh migas, Dr Syahrir menyatakan bahwa
bisnis pertambangan itu berisiko. Namun tidak dijelaskan bagaimana
risiko pertambangan emas dibandingkan risiko usaha migas, karena yang
satu berada dekat di permukaan dan yang lain jauh di dalam tanah
(Risiko tinggi usaha migas terutama disebabkan mahalnya pemboran
eksplorasi yang bisa mencapai jutaan dollar per sumur). Wa-laupun
demikian pertambangan nonmigas dapat juga berisiko tinggi dan
membutuhkan tek-nologi yang sulit seperti di Freeport, sehingga perlu
dijelaskan apakah medan di Kalimantan sesulit di Freeport.

Ketiga, Drs Kwik Kian Gie dan beberapa ekonom lain mempertanyakan
seberapa baik diakomodasikan kepentingan bangsa Indonesia dalam usaha
tersebut.

Keempat, Dr Indrojono Soesilo memperlihatkan peta Busang hasil
penginderaan jarak jauh. Ada baiknya pakar geologi kita ini
menceritakan lebih lanjut hubungan informasi hasil penginderaan jarak
jauh tersebut dengan kemakin-pastian eksplorasi pertambangan.

Kelima, beberapa ahli pertambangan menceritakan bahwa kontrak sekarang
sudah jauh lebih baik dari sebelumnya tanpa menjelaskan berapa
besarnya porsi pemerintah dari keuntungan usaha tersebut dan bagaimana
kontrak pertambangan sejenis di negara-negara lain.

Pertambangan umum (nonmigas) di Indonesia lebih merupakan "gadis
pingitan" kalau dibandingkan migas yang lebih "terbuka" karena masih
banyak yang belum diketahui masyarakat terutama mengenai kebijakannya.
Dengan meningkatnya pentingnya pertambangan umum (batu bara, tembaga,
emas, dan lain-lain) dalam pembangunan nasional, tentunya akan
meningkat pula perhatian masyarakat terhadapnya. Apalagi aspek
lingkungan baik fisik maupun sosial pertambangan umum sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Diskusi publik
mengenai pertambangan umum sangat diperlukan karena dengan makin
terbukanya informasi mengenai sektor tersebut maka masyarakat makin
bisa menerima kebijakan mengenainya, ter-utama apabila kebijakan
tersebut menjadi terasa lebih masuk akal dengan adanya informasi
tersebut.

Hal yang masih dipertentangkan dalam sektor pertambangan umum adalah
mengenai risiko (ketidakpastian) eksplorasinya dan kemampuan menangani
teknologi eksploitasinya. Yang paling tahu tentang hal ini tentunya
adalah ahli geologi dan ahli pertambangan Indonesia. Penjelasan dari
para ahli geologi tersebut tentunya sangat dinantikan masyarakat dan
pertambangan Indonesia karena sangat berhubungan dengan kemampuan,
kemauan dan ke-jujuran mereka.

Hal lain yang masih dipertentangkan adalah berapa bagian keuntungan
pemerintah (bangsa Indonesia) dari usaha tersebut. Penjelasan dari
pemerintah mengenai kontrak emas dan pertambangan umum lainnya
(ter-utama mengenai pembagian keuntungannya) yang berlaku di
Indonesia, perbandingan kontrak tersebut dengan yang berlaku dengan di
negara-negara lain, keuntungan (Rate of Return) rata-rata usaha
tersebut di Indonesia perlu diberikan untuk mengetahui apakah
keuntungan pemerintah tersebut memadai atau tidak. Mungkin perlu juga
dipikirkan kebijakan pajak yang berbeda untuk ukuran cadangan yang
berbeda karena keuntungannya pun berbeda. Perlu dicatat bahwa beberapa
negara memperlakukan kontrak pertambangan yang berbeda bagi BUMN,
swasta nasional dan swasta asing. Akan lebih baik lagi apabila
informasi tersebut disertai dengan biaya pengusahaan pertambangan
untuk berbagai kondisi tambang.

Seyogianya penjelasan tersebut diberikan dalam bahasa yang mudah
dimengerti masyarakat karena sebagian besar bangsa Indonesia kurang
mempelajari geologi dan pertambangan, tetapi kita mempunyai cukup
banyak ahli ekonomi. Keterbukaan informasi sangat diperlukan untuk
pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, karena pembangunan ini
adalah pembangunan masyarakat baik masa kini dan juga untuk generasi
mendatang.

(* Widjajono Partowidagdo, Pembantu Dekan Urusan Akademis Fakultas
Teknologi Mineral dan Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan
Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat. Saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Energi Nasional)

Kompas Online
Senin, 17 Februari 1997