/1/
PADA hari ulang tahunku, ada yang memberi kado
: sebuah buku. Aku terkejut karena ternyata
ada engkau dalam kado itu.
"Selamat ulang tahun, ya," katamu.
Sejak saat itu, kau dan aku,
menjadi kekasih abadi.
Sehidup.
Semati.
/2/
ENGKAU, Sayangku, adalah buku,
aku membaca matamu tak jemu.
Sampai kau bilang, "Sudah ya,
aku mau memejam dulu..."
"Ya," jawabku - sambil diam-diam
berharap kau mengajakku tidur
bersamamu. Dan membayangkan
halaman paling rahasia dari dirimu.
Halaman yang hanya bertulisan
sebuah kata, yang kau sendiri,
belum pernah membacanya.
"Mungkin saja, itu hanya teka-teki.
Yang sudah kau tahu jawabnya. Kau,
silakan menebak apa pertanyaannya..."
katamu pada suatu hari.
/3/
DI Rumah Buku.
Aku sering tersesat ke masa lalu,
menjadi bocah nakal lagi,
berlarian tanpa sepatu,
berguling-gulingan di lumpur,
memanjat pohon kedondong.
Tak ada yang bisa menghentikan:
kecuali Waktu. Kecuali waktu.
"Ah, siapa bilang begitu," kata Waktu.
Tapi, aku tak mendengarnya. Tentu.
Karena di Rumah Buku, aku terlalu sibuk
mencari-cari matamu. Yang hendak
kubaca lagi dengan setumpuk rindu...
tapi, akhirnya, lagi-lagi hanya tersesat
ke masa lalu.
"Rasain, lu," kata Waktu. Dan aku
lagi-lagi tak mendengarnya. Tentu.
/4/
DI ranjangku yang paling syahdu,
bertebaran buku-buku di sisiku.
"Salah satunya adalah kamu, Sayangku..."
kataku sambil menatapi sampul-sampul
itu satu per satu.
Yang paling mengganggu adalah engkau yang
bisa-bisanya menuliskan: Hei, DukaMu Abadi!
Yang paling seram itu adalah engkau yang
berseru nyaring: Hei, Orang-orang Terasing!
Yang paling riang adalah engkau juga yang
enteng bilang: Mengarang itu Gampang, Kok!
Tapi, setelah bertahun-tahun meniduri buku,
aku belum juga bisa menebak teka-tekimu.
/5/
WAKTU kecil, kalau ada yang bertanya, "Engkau
mau jadi apa?" Aku menjawab, "Mau jadi buku.."
Dan tak pernah ada yang bisa mengerti.
"Wah, bagus. Menjadi penulis buku itu hebat..."
Sesudah tua begini, masih juga ada yang bertanya,
"Apa keinginan Anda yang belum tercapai?" Aku
menjawab, "Menjadi sebuah buku..."
Keinginan yang juga tak bisa mereka pahami.
"Ya, ya... banyak orang yang di masa tuanya ingin
menuliskan buku. Anda juga masih punya waktu..."
/6/
TETAPI tidak ada yang bertanya:
kau hendak dimakamkan di mana?
Diam-diam aku sedang mempersiapkan
sebuah kematian yang paling sempurna:
dikuburkan di dalam buku. Engkau tahu?
Buku akan hidup abadi. Tak mati-mati!
Barangkali saja, kelak dalam perjalananku
dari halaman-halamanmu, duhai Bukuku,
duhai Kuburku, duhai Kekasih Abadiku,
bisa kutemukan pertanyaan teka-tekimu,
bisa kudengar apa saja yang dikata Waktu.
Sajak2 Hasan Aspahani: untuk Kafebaca Biblioholic (FB)