Delapan Jam Di Perbatasan Entikong - Tebedu

Sekali waktu di terminal keberangkatan luar negeribandara Soekarno-Hatta. Selesai tas jinjing disinar-X,rupanya petugas imigrasi tahu kalau di dalamnya adatumpukan uang lima-puluh ribuan. Tanpa basa-basi,dengan senyum cengengesan di depan orang lain, pakpetugas nembung (minta ijin) : ”Boleh ditinggal satulembarannya, Pak?” (maksudnya lembaran uang lima puluhribuan tentu). Terkejut juga saya didadak permintaanpak petugas imigrasi ini. Sama sekali tidak mendugabakal ditanya seperti itu. Dengan cepat saya jawab (maksudnya berkelit) : ”Wah, maaf pak. Itu uangtitpan”, sambil saya ngeloyor pergi. Maksudnya,titipan dari istri untuk beli oleh-oleh.Sekali yang lain di terminal keberangkatan luar negeribandara Ngurah Rai. Saya siapkan uang tiga juta rupiahuntuk membayar fiskal 3 orang, yaitu saya, istri dananak pertama yang umurnya sudah diatas 12 tahun.Rupanya petugas imigrasi penjual fiskal cukup berbaikhati memberi saran. ”Kalau bapak mau, anak bapak cukupbayar lima ratus ribu saja, nanti anaknya saya anggapmasih di bawah 12 tahun. Lumayan hemat, pak”.Kata-kata ”lumayan” ini cukup menggoyahkan pikiranlurus saya. Dengan cepat saya lakukan mencongak(menghitung di pikiran), lima ratus ribu rupiah (IDR)adalah sekitar seratus dollar Australia (AUD).Celakanya kok ya saya ikuti juga pikiran bengkokdengan menerima tawarannya. Ya, gara-gara fakor”lumayan” itu tadi.... Setelah itu baru saya menyesalsetengah mampus telah turut ambil bagian dalam tindaktak terpuji. ***

Hari masih pagi ketika saya tiba di perbatasan Entikong – Tebedu, Kalimantan Barat, setelah menempuhperjalanan lebih 6 jam dari Pontianak dengan bis\non-eksekutif. Menjelang jam 7 pagi, gerbang perbatasan sudah mulai ramai oleh para pelintas batas yang berurusan dengan petugas imigrasi. Masing-masing orang sudah siap dengan paspor di tangan. Juga saya. Giliran paspor saya diperiksa, agak lama pak petugas membolak-balik paspor. Spontan saya menduga, pasti ada yang tidak beres. Inilah pertama kali saya menggunakan paspor sejak terakhir kali pulang dari mancanegara nempat tahun yang lalu melalui bandara Ngurah Rai. Ada apa gerangan? Entah kenapa, dan saya sendiri juga baru ngeh.....Rupanya ketika masuk ke Denpasar empat tahun yang lalu, petugas imigrasi di sana waktu itu tidak mengambil kartu kedatangan yang disteples di paspor dan lupa tidak memberi cap stempel kedatangan. Dengan kata lain, selama empat tahun ini status kependudukan saya, menurut hukum keimigrasian, saya dianggap masih bergentayangan di luar Indonesia. Maka petugas imigrasi Entikong pun bingung. Lha, wong ”masih berada” di luar negeri kok ujuk-ujuk minta ijin menyeberang ke luar negeri. Saya lalu dipertemukan dengan seorang atasan di kantor imigrasi Entikong. Mulanya saya pikir ini hanya soal fulus bin duit. Rupanya, kasus saya dinilai tergolong pelik. Pihak imigrasi Entikong dengan tegas mengatakan tidak bisa membantu, karena resikonya tergolong berat. Kalau saja waktu itu saya masuk kembali ke Indonesia melalui Entikong, kemungkinan besar masih bisa diakalin. Akan tetapi karena saya masuknya melalui Denpasar, maka harus ada stempel kedatangan dari imigrasi Ngurah Rai, baru paspor saya bisa digunakan kembali. Intinya, saya tidak bisa meninggalkan Indonesia. Sementara teman seperjalanan saya dari Yogya bisa langsung melanjutkan perjalanan ke kota Kuching, ibukota negara bagian Serawak, Malaysia. Weleh-weleh..... dheleg-dheleg saya....... Masak harus ke Denpasar dulu..... Sambil duduk termangu dan pesan kopi di kantin Indonesia (maksudnya kantin yang berada",1]);//-->eksekutif. Menjelang jam 7 pagi, gerbang perbatasansudah mulai ramai oleh para pelintas batas yangberurusan dengan petugas imigrasi. Masing-masing orangsudah siap dengan paspor di tangan. Juga saya. Giliranpaspor saya diperiksa, agak lama pak petugasmembolak-balik paspor. Spontan saya menduga, pasti adayang tidak beres. Inilah pertama kali saya menggunakanpaspor sejak terakhir kali pulang dari mancanegaraempat tahun yang lalu melalui bandara Ngurah Rai. Adaapa gerangan?Entah kenapa, dan saya sendiri juga baru ngeh.....Rupanya ketika masuk ke Denpasar empat tahun yanglalu, petugas imigrasi di sana waktu itu tidakmengambil kartu kedatangan yang disteples di paspordan lupa tidak memberi cap stempel kedatangan. Dengankata lain, selama empat tahun ini status kependudukansaya, menurut hukum keimigrasian, saya dianggap masihbergentayangan di luar Indonesia. Maka petugasimigrasi Entikong pun bingung. Lha, wong ”masihberada” di luar negeri kok ujuk-ujuk minta ijinmenyeberang ke luar negeri. Saya lalu dipertemukan dengan seorang atasan di kantorimigrasi Entikong. Mulanya saya pikir ini hanya soalfulus bin duit. Rupanya, kasus saya dinilai tergolongpelik. Pihak imigrasi Entikong dengan tegas mengatakantidak bisa membantu, karena resikonya tergolong berat.Kalau saja waktu itu saya masuk kembali ke Indonesiamelalui Entikong, kemungkinan besar masih bisadiakalin. Akan tetapi karena saya masuknya melaluiDenpasar, maka harus ada stempel kedatangan dariimigrasi Ngurah Rai, baru paspor saya bisa digunakankembali. Intinya, saya tidak bisa meninggalkanIndonesia. Sementara teman seperjalanan saya dariYogya bisa langsung melanjutkan perjalanan ke kotaKuching, ibukota negara bagian Serawak, Malaysia.Weleh-weleh..... dheleg-dheleg saya....... Masak haruske Denpasar dulu..... Sambil duduk termangu dan pesankopi di kantin Indonesia (maksudnya kantin yang berada
di wilayah Indonesia, sebab nanti ada kantin yangberada di wilayah Malaysia), saya mencoba merenungkankejadian yang saya alami pagi itu. Seprana-seprene...., ya baru kali inilah saya paham narti pentingnya stempel keimigrasian yang dicapkan di paspor. Mencoba tidak menyerah. Setelah menghubungi relasi yang berada di Kuching, yang mengundang untuk ketemu di sana siang itu, saya ceritakan apa yang terjadi. Pendek cerita, entah bagaimana hubungan-hubungannya saya tidak tahu, kemudian saya diminta menemui seorang petinggi imigresyen Malaysia di Tebedu (seberangnya Entikong). Saya pun melenggang melintasi gerbang perbatasan, karena seorang Bapak bertubuh gemuk dan memakai baju batik (begitu ciri-ciri orang yang harus saya temui) sudah menunggu di wilayah Malaysia. Sekali lagi saya ceritakan apa yang terjadi. Bapak pejabat imigrasi Malaysia itu pun berjanji akan mencarikan penyelesaian atas masalah paspor saya. Katanya, Malaysia welcome terhadap kedatangan saya, tapi masalahnya ada di imigrasi Indonesia. Beliau berjanji akan segera membicarakannya dengan pihak imigrasi Indonesia. Dengan ramah saya diminta menunggu di kantin Malaysia, dan tidak lupa saya disangoni (dibekali) uang 20 ringgit. Sungguh surprise....Bukannya dimintai uang malah diberi uang saku. Agaknya beliau tahu bahwa tidak ada gunanya saya berada di kantin Malaysia kalau saya tidak pegang uang Malaysia, wong di sana mbayar-nya pakai ringgit. Sejam, dua jam, saya masih sabar menanti pejabat imigrasi Indonesia yang katanya mau menemui saya. Tiga jam, empat jam, saya mulai pesimis. Lima jam, enam jam, saya mulai ngantuk dan baiknya saya lupakan saja untuk memperoleh ijin keluar dari Indonesia (meskipun faktanya saya sudah nongkrong di kantin Malaysia) karena saya mulai yakin bahwa upaya Bapak pejabat imigrasi Malaysia itu tidak berhasil. Soal lama menunggu tanpa kepastian rasanya saya cukup",1]
);//-->di wilayah Indonesia, sebab nanti ada kantin yangberada di wilayah Malaysia), saya mencoba merenungkankejadian yang saya alami pagi itu. Seprana-seprene...., ya baru kali inilah saya pahamarti pentingnya stempel keimigrasian yang dicapkan dipaspor. Mencoba tidak menyerah. Setelah menghubungi relasiyang berada di Kuching, yang mengundang untuk ketemudi sana siang itu, saya ceritakan apa yang terjadi.Pendek cerita, entah bagaimana hubungan-hubungannya saya tidak tahu, kemudian saya diminta menemui seorangpetinggi imigresyen Malaysia di Tebedu (seberangnyaEntikong). Saya pun melenggang melintasi gerbangperbatasan, karena seorang Bapak bertubuh gemuk danmemakai baju batik (begitu ciri-ciri orang yang harussaya temui) sudah menunggu di wilayah Malaysia. Sekalilagi saya ceritakan apa yang terjadi.Bapak pejabat imigrasi Malaysia itu pun berjanji akanmencarikan penyelesaian atas masalah paspor saya.Katanya, Malaysia welcome terhadap kedatangan saya,tapi masalahnya ada di imigrasi Indonesia. Beliauberjanji akan segera membicarakannya dengan pihakimigrasi Indonesia. Dengan ramah saya diminta menunggudi kantin Malaysia, dan tidak lupa saya disangoni(dibekali) uang 20 ringgit. Sungguh surprise....Bukannya dimintai uang malah diberi uang saku. Agaknyabeliau tahu bahwa tidak ada gunanya saya berada dikantin Malaysia kalau saya tidak pegang uang Malaysia,wong di sana mbayar-nya pakai ringgit.Sejam, dua jam, saya masih sabar menanti pejabatimigrasi Indonesia yang katanya mau menemui saya. Tigajam, empat jam, saya mulai pesimis. Lima jam, enamjam, saya mulai ngantuk dan baiknya saya lupakan sajauntuk memperoleh ijin keluar dari Indonesia (meskipunfaktanya saya sudah nongkrong di kantin Malaysia)karena saya mulai yakin bahwa upaya Bapak pejabatimigrasi Malaysia itu tidak berhasil.Soal lama menunggu tanpa kepastian rasanya saya cukup
berpengalaman, kesalnya. Tapi menunggu dengan tanpa bisa berkomunikasi sungguh membuat geram. Pasalnya,ponsel saya (yang tidak ada kameranya) ternyata habis baterei, charger tidak terbawa, orang di kantin sekitarnya tidak ada yang punya charger. Alamak....! Mau saya tinggal pergi, iya kalau relasi saya datang bagaimana? Mau menunggu terus, sampai jam berapa? Mencoba mengisi waktu dengan membuka laptop, lha kok ndilalah batereinya juga habis. Mau dicolokkan ke listrik kantin ternyata kabel charger kurang poanjang.Ugh....!Kebetulan ada seorang penjual jasa penukaran uang yang lagi makan di kantin, kebetulan juga punya HP yang mereknya sama dengan HP saya. Sejurus kemudian saya memberanikan diri meminjam ponselnya dan saya jelaskan bahwa saya akan menggunakan kartu chip ponsel saya sendiri, dengan cara memindahkannya. Setidak-tidaknya dia tidak rugi pulsa. Maka berkat jasa baik pedagang valas liar itulah akhirnya saya bisa menghubungi relasi di Kuching. Akhirnya teman dan relasi saya datang bermaksud menjemput. Sekali lagi akan diupayakan untuk deal dengan pihak imigrasi Indonesia di Entikong. Relasi saya masih yakin bahwa ini hanya soal fulus bin duit. Tapi rupanya keputusan memang sudah final, bahwa masalah paspor saya tergolong masalah rumit yang tak seorangpun petugas imigrasi Indonesia di sana berani membuat ”terobosan”. Ya sudah. Teman dan relasi saya melanjutkan perjalanan sesuai rencana, saya pun segera mengejar bis terakhir yang kembali menuju ke Pontianak. Delapan jam di perbatasan Entikong – Tebedu yang sangat membosankan, seperti orang hilang. Padahal ya tidak ngapa-ngapain, kecuali menunggu, makan, minum, udut, sambil ngantuk-ngantuk... Tapi seorang bapak gemuk berbaju batik petinggi imigresyen Malaysia tadi telah mengajarkan saya tentang bagaimana kita perduli pada kesulitan yang sedang dihadapi orang lain, dan orang lain itu bukan siapa-siapanya..... ",1]);//-->berpengalaman, kesalnya.
Tapi menunggu dengan tanpa bisa berkomunikasi sungguh membuat geram. Pasalnya,ponsel saya (yang tidak ada kameranya) ternyata habis baterei, charger tidak terbawa, orang di kantinsekitarnya tidak ada yang punya charger. Alamak....!Mau saya tinggal pergi, iya kalau relasi saya datangbagaimana? Mau menunggu terus, sampai jam berapa?Mencoba mengisi waktu dengan membuka laptop, lha kokndilalah batereinya juga habis. Mau dicolokkan kelistrik kantin ternyata kabel charger kurang poanjang.Ugh....!Kebetulan ada seorang penjual jasa penukaran uang yanglagi makan di kantin, kebetulan juga punya HP yangmereknya sama dengan HP saya. Sejurus kemudian sayamemberanikan diri meminjam ponselnya dan saya jelaskanbahwa saya akan menggunakan kartu chip ponsel sayasendiri, dengan cara memindahkannya. Setidak-tidaknyadia tidak rugi pulsa. Maka berkat jasa baik pedagangvalas liar itulah akhirnya saya bisa menghubungirelasi di Kuching.Akhirnya teman dan relasi saya datang bermaksudmenjemput. Sekali lagi akan diupayakan untuk dealdengan pihak imigrasi Indonesia di Entikong. Relasisaya masih yakin bahwa ini hanya soal fulus bin duit.Tapi rupanya keputusan memang sudah final, bahwamasalah paspor saya tergolong masalah rumit yang takseorangpun petugas imigrasi Indonesia di sana beranimembuat ”terobosan”. Ya sudah. Teman dan relasi saya melanjutkan perjalanansesuai rencana, saya pun segera mengejar bis terakhiryang kembali menuju ke Pontianak. Delapan jam di perbatasan Entikong – Tebedu yangsangat membosankan, seperti orang hilang. Padahal yatidak ngapa-ngapain, kecuali menunggu, makan, minum,udut, sambil ngantuk-ngantuk... Tapi seorang bapakgemuk berbaju batik petinggi imigresyen Malaysia taditelah mengajarkan saya tentang bagaimana kita perdulipada kesulitan yang sedang dihadapi orang lain, danorang lain itu bukan siapa-siapanya.....

Yogyakarta, 28 Oktober 2007.
Yusuf Iskandar
"http://groups.yahoo.com/group/upnvy