100 THN KEBANGKITAN NASIONAL (IV)

Untuk Apa Punya Minyak? 
Kamis, 29 Mei 2008 | 00:44 WIB
MT Zen
Guru Besar Emeritus ITB

Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali
ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah
Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti
Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak,
berkeluh-kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi
dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak
awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan
ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan
minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan
cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada
artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain
cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi
cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia
memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri
minyak Indonesia adalah tidak ada kemajuan dalam pengembangan teknologi
perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang
hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya
sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah
mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum
Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di
lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin
kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu
tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih
dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak
ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan
mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli
Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika,
terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang
yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari
helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil
tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia
seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di
daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai
bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan-anjungan lain, saya diceritakan bahwa
mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat
mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru,
terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar
lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul
dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat
ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara
pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan
teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan
minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan
baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi
mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang
sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun,
kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang
diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau
mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri,
menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang
disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina,
tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang
di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia
yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan
berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia
tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is
something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of
Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah
mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia,
cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena,
lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul
dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan
Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot
tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika,
tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan
salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu
industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot
perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal
ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua
perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.

MT Zen Guru Besar Emeritus ITB


KOMENTAR:

"Zein Wijaya"
Thu, 29 May 2008 19:03:16 -0700 (PDT)

Good Article Afar, tapi ada kelemahan dari artikel yg dibuat Pak prof MT Zen.
beliau lupa membandingkan populasi penduduk Norway dengan penduduk Indonesia..
Norway hanya berpenduduk 4.7 Juta..dan hasil produksi minyaknya 1.5 Juta BPH
indonesia mungkin pada thn 1980 berpenduduk 150 Juta dan produksi minyak 1.5 Juta BPH
Dari pendapatan perkapita udah enggak matching..dengan pendapatann per
kapita yg tinggi, fasilitas publik (pendidikan dan kesehatan) bisa
diberikan secara cuma cuma..
sehingga kualitas pendidikan masyarakat Norway bisa cepat sejajar dengan Amerika...
dengan Income yg besar, mereka juga bisa melakukan riset riset yg dibiayai pemerintah
Lain halnya dengan indonesia, pendapatan per kapita rendah, duit banyak
dipakai untuk KKN, subsidi...dana alokasi pendidikan dan kesehatan
minim...bagaimana bisa meningkatkan sumber daya manusia..
selain itu perbedaan yg menyolok:
di Norway,KKN hampir nyaris tidak ada dengan sistem ekonomi yg bergaya sosialis
(sama rasa sama rata), sedang di indonesia KKN merajalela
Ada satu kritik lagi, disebutkan di artikel dibawah bahwa Minyak dan
gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusaha an asing,
sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun

Lah khan kita punya sistem kontrak bagi hasil antara KPS dengan
Negara....koq bisa bisanya dibilang negara nyaris tidak mempeoleh
apapun..

Contoh paling nyata pengelolaan CPP Blok oleh BOB Siak Pusako, apa bisa
memberikan kontribusi kepada daerah / negara..Yg ada malah rebutan
minyak antara Pemda dan Pemerintah Pusat....sementara produksi terus
menurun...dan masyarakat Riau seitar Blok CPP tetap aja miskin
Di UK,sistem yg diterapkan untuk perusahaan minyak adalah Tax
Royalti...Enggak ada sistem bagi hasil...Tax Royalti maksudnya:
keuntungan bersih perusahaan minyak asing dikenakan pajak tinggi oleh
pemerintah UK (sekitar 40%).

Hasilnya : bisa langsung dirasakan masyarakat ...
fasilitas kesehatan gratis, pendidikan gratis...
Bahkan Aberdeen bisa menjadi kota terkaya di UK

Jadi bisa disimpulkan, yg salah bukan sistemnya ...mau diubah sistemnya
bagaimanapun kalo duit minyak yg masuk dikorupsi..yach sampai dunia
kiamat juga enggak akan bisa dinikmati masyarakat banyak..Jadi
janganlah menyalahkan pihak luar bahwa kekayaan kita disedot habis oleh
pihak asing...sementara masyarakat tidak mendapatkan apa apa...padahal
yg mesti disalahkan adalah moral kita sendiri
saya hanya berusaha bersikap obyektif
dengan membandingkan pengalaman selama berdomisili di Riau, Norway dan UK...


"afar mas"
Thu, 29 May 2008 19:50:35 -0700 (PDT)

Mas Zein kapan nih kita kumpul2 lagi...nih...wah dah mantab di Aberdeen
ya...
Mungkin maksudnya Pak MT ZEN ,kita ini dalam arti spesifik Mas...kita
bangsa...bukan kita para individu yang bisa menikmatinya...
kalau saya boleh ambil contoh tentang Petronas, kebetulan saya kerja di
Petronas PMU (BP Migasnya Malaysia)..hasil minyak Malaysia tidak
sebanyak Indonesia...hanya sekitar 500-600 BOPD, penduduknya juga lumayan
sekitar 25 juta, tapi profit yang didapatkan petronas berlipat2 dengan
yang didapatkan Pertamina yang notabene mahagurunya Petronas, sistem KPS,
regulasi nya benar2 fotocopy Pertamina/Indonesia...bahkan BP Migasnya
(Petronas PMU) merupakan badan regulator yang mirip fungsi dan
bentuknya dengan DMPS/BKKA jadul....belum lagi expansi Petronas di sektor hulu
dan hilir yang semakin gencar merambah seluruh benua yang punya oil&gas
resource and market potential .
Mungkin yang membedakan adalah implementasinya yang kalau bisa saya
rasakan sangat jauh berbeda antara Petronas dan Pertamina+BP
Migas...kita yang ngurusin masalah produksi benar2 sampai ngobok2 reservoir dan
production operation di KPS,meeting dengan KPS benar2 nggak ada yang
namanya layan melayani dalam hal di luar masalah teknis, nggak ada
penyambutan2 yang tidak perlu, jadi ya kita juga enak dan bisa menjalankan
fungsinya secara profesional... hebatnya lagi motornya ya kita2 orang
Indonesia....
Tentang BOB BSP-Pertamina Hulu ...itu cerita lalu , saya pernah kerja
di tempat itu hampir 2 tahun lamanya...sayang internally BOB disibukkan
dengan hal2 non technical yang memang perlu sih perlu tapi kalau
kebanyakan juga akhirnya kontraproduktif...maaf beribu maaf terpaksa saya
tinggalkan sementara BOB untuk cari ilmu di tempat lain...banyak orang
yang merasa serba salah....akhirnya tidak sedikit engineer&geoscientist
nya yang potential 'mental' kemana2 umumnya ke overseas...
tentang Demo...saya bangga punya rekan2 mahasiswa yang sampai saat ini
masih peduli dengan rakyatnya...sayapun mengutuk keras kekerasan yang
dilakukan mahasiswa maupun polisi yang dalam sudut pandang apapun tidak
bisa dibenarkan....
Afar Alzubaid Mbai