BLOG

· ~Mas Kopdang~

Nasionalisasi Kopidangdut

Nasionalisasi. Mantra putus asa bangsa tak berdaya.

Nasionalisasi ExxonMobil

Nasionalisasi Chevron

Nasionalisasi Royal Dutch Shell

Keuntungannya untuk Subsidi BBM

Saya melihat tulisan itu pada potongan kardus yang dijadikan alas poster. Pada kertas yang ditempel pada jerigen kosong yang terikat pada karet. Situasi yang menggambarkan sebuah unjuk rasa. Kesemuanya itu saya lihat pada halaman pertama Koran Jakarta (yang hingga 28 Juli masih Rp1000 itu).

Nasionalisasi. Menurut KBBI Daring (online) adalah:

na·si·o·na·li·sa·si n proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti dng penggantian yg merupakan kompensasi: Pemerintah melakukan — thd perusahaan asing;
me·na·si·o·na·li·sa·si v melakukan tindakan nasionalisasi; menjadikan sesuatu menjadi milik bangsa dan negara: tindakan pertama pemerintah baru adalah ~ bank-bank asing;
me·na·si·o·na·li·sa·si·kan v menasionalisasi

Maka ingatlah saya pada PP 13 Tahun 1960 yang dikeluarkan tanggal 23 maret 1960 yang menentukan perusahaan bank di Indonesia milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi.

PT Escomptobank. Nederlandschindische Es compto cikal bakal BDN. Bank Dagang Negara yang akhirnya menjelma menjadi Bank Mandiri, bersama-sama dengan Bank Exim, Bank Bapindo dan Bank Bumi Daya. Merupakan salah satu perusahaan asing yang dinasionalisasi oleh Soekarno.

Diawali dengan Pasal 5 ayat (2) dan pasal II dari Aturan peralihan UUD’45 yang kemudian diterbitkanlah UU No.86 tahun 1958 (Lembaran Negara 1958 No.162) tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, dan untuk melaksanakannya diterbitkan Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1959 (Lembaran Negara 1959 No.6, tambahan Lembaran Negara No.19731) tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Serta adanya Surat dari Menteri Pertama tanggal 22 Maret 1960 No.6879/60, maka Nasionalisasi Perusahaan Belanda barulah dimulai….

Untuk menasionalisasi sebuah perusahaan asing dibutuhkan legalitas yang saling melengkapi dan menghindari kesan kesewenang-wenangan. Sehingga yang muncul adalah bukan semata-mata “pencaplokkan” namun sekadar “peralihan pemilik”.

Sebagai contoh Escompto bank yang menjadi BDN, untuk menjadi milik pemerintah dibutuhkan waktu kurang lebih 27 tahun (dari tahun 1960-sampai 1987) hingga dianggap tuntas.

Dibutuhkan pembuatan UU No.13 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 2865) dan dilengkapi dengan Keputusan residen Nomor 183 tahun 1968 untuk mengeluarkan Keppres No. 57 Tahun 1971 yang menetapkan pengelolaan terhadap efek-efek (saham) yang disimpan sebelum dan sesudah Perang dunia Kedua pada bank-bank di dalam dan diluar negeri, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah ataupun milik dari dana-dana yang pengurusannya tidak ada atau tidak jelas lagi dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam Keppres ini.

Bahkan pada tahun 1974, melalui Keppres (Keputusan Presiden) No. 53 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Persoalan Efek-efek antara pemerintah RI dan pemerintah kerajaan Belanda, diatur kembali secara lebih detil, mana-mana saja saham dan perusahaan yang telah dinasionalisasi yang dapat diurus penggantian hak kepemilikannya oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan. Waktu itu, 1 Nederlandsch Indische Courant (f.1) sama dengan Rp.1,-.

Atas dasar itu Bank Indonesia membuat iklan di harian-surat kabar seperti Sinar Harapan, terbitan tanggal 19 April 1974 yang isinya menyatakan bahwa:

Pada Bank Indonesia, BNI 46, BDN, BBD, Bank Exim terdapat sejumlah efek yang alamat pemiliknya tidak jelas/ tidak diketahui lagi.

Oleh karenanya para pemilik efek dapat memperoleh kembali efek tersebut dengan cara “mengajukan surat permohonan pembebasan efek-efek yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan” disertai copy bukti otentik.

Bila hingga tahun 1987 tidak ada yang mengajukan diri sebagai pemilik efek, maka efek dimaksud dinyatakan milik Negara.

Iklan tersebut diulang lagi dengan isi yang sama persis pada tanggal 24 November 1975 di harian terkemuka seperti KOMPAS.

Dan akhirnya, Menteri Keuangan pada tahun 1986 (setahun sebelum penutupan kesempatan peralihan efek) mengeluarkan pengumuman nomor Peng-11/MK.011/1986 tentang Pelaksanaan Penyelesaian persoalan efek-efek antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda.

Isinya menyatakan bahwa 1987 adalah tahun kadaluwarsa atas efek-efek perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi, sehingga setahun sebelum kadaluwarsa, masih ada kesempatan untuk menghubungi bank Indonesia sebagai pihak penata usaha dan masih dapat mengajukan permohonan pembayaran kepada Mentyeri Keuangan cq. Panitia Pelaksanaan Keppres No.57/1971 dan Keppres no.53/1974. Dengan alamat waktu itu di bagian Pengembangan Pasar Uang (Bank Indonesia) Jalan Pintu Besar Utara No.3 Jakarta Kota.

Permohonan tersebut paling lambat sampai pada tanggal 31 Agustus 1987.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa..berdasarkan data sejarah tersebut, nasionalisasi sebuah perusahaan asing bukanlah barang mudah yang dapat dilakukan seperti membalikkan punggung paus! Namun jauh lebih rumit dan membutuhkan konsistensi kebijakan dan waktu yang panjang.

Malakukan nasionalisasi bukanlah mengambil kepemilikan tanpa memberikan kompensasi. Justru nasionalisasi berarti sekadar mengganti pemilik, namun tetap memberikan hak kepada pemilik lama.

Lalu, mampukah negara kopidangdut ini membeli exxonmobil, chevron, dan shell..?

Karena perusahaan itu, bukanlah pampasan perang. Karena perusahaan itu, bukanlah warisan Gadjah Mada, Minak Djinggo maupun Mbah Maridjan….

Mas Kopdang, nama “panggung” Bambang Kopdang Diredjono.

9 Tanggapan ke “Nasionalisasi Kopidangdut”

  1. iway Berkata:
    Mei 2, 2008 pukul 7:45 am

emang gampang ya mbalikin punggung paus? :D
minak jinggo : miring penak …. monggo :D

kalo negara ini berdaya (minimal mental bangsanya bukan mental inlander) kayaknya ga usahlah pake mantra, tinggal tiup aja tuh perusahaan dah jadi milik negara, wong mbah maridjan aja ga pernah pake mantra-mantra kok

  1. -tikabanget- Berkata:
    Mei 2, 2008 pukul 7:48 am

apakah mampu negara ini mengusir macam chevron, shell, dan segala macemnya?
kalo udah diusir, apakah mampu negara ini ngelola bener yang ditinggalin mereka mereka itu..?

  1. papabonbon Berkata:
    Mei 2, 2008 pukul 5:40 pm

kok nasionalisasinya dibikin susah sih. langsut babat ajah … wakakakka :)

  1. bah reggae Berkata:
    Mei 2, 2008 pukul 7:26 pm

Mantra putus asa bangsa tak berdaya. Kelihatannya kok begitu. Gagah memang, tapi konsekuensinya juga dahsyat.

  1. Hedi Berkata:
    Mei 2, 2008 pukul 10:56 pm

lama-lama jadi tipis batas antara nasionalisasi dengan fasisme

  1. cewektulen Berkata:
    Mei 3, 2008 pukul 3:41 pm

prihatin..tapi saya tidak punya solusi

  1. latree Berkata:
    Mei 3, 2008 pukul 8:41 pm

hidup Indonesia!

logo-edit-2.jpg